Liputan6.com, Jakarta - Meski dunia sudah tak lagi dalam status darurat pandemi, COVID-19 belum sepenuhnya menghilang. Belakangan, sejumlah negara tetangga Indonesia kembali mencatatkan peningkatan kasus COVID-19, terutama akibat kemunculan varian-varian baru seperti XEC dan JN.1.
Varian COVID-19 ini mulai menyebar di kawasan Asia Tenggara, memicu kekhawatiran akan potensi lonjakan kasus, termasuk di Indonesia. Para ahli pun menekankan pentingnya kewaspadaan tanpa menimbulkan kepanikan.
Menurut mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara 2018–2020, Prof Tjandra Yoga Aditama, salah satu varian baru yang menjadi sorotan adalah varian XEC.
Varian COVID ini dilaporkan telah ditemukan di Thailand. XEC merupakan galur rekombinan hasil gabungan dua subvarian Omicron, yakni KS.1.1 (FLiRT) dan KP.3.3 (FLuQE).
"Varian XEC ini memang merupakan galur rekombinan baru yang pertama kali ditemukan di Jerman pada Juni 2024, dan kini telah terdeteksi di sedikitnya 15 negara di Eropa, Amerika Utara, dan Asia," ujar Prof. Tjandra saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Rabu, 21 Mei 2025.
Varian COVID JN.1 yang Terjadi di Singapura Masuk Golongan Omicron
Lebih lanjut, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI tersebut menjelaskan bahwa varian XEC mengandung sejumlah mutasi yang membuatnya lebih mudah menular.
Meski begitu, hingga saat ini belum ada laporan bahwa varian ini menyebabkan gejala yang lebih berat dibandingkan varian sebelumnya.
Sementara itu, di Singapura, varian yang mendominasi adalah JN.1 beserta turunannya, seperti LF.7 dan NB.1.8. Kedua jenis varian ini masih termasuk dalam keluarga besar Omicron.
Hingga kini, belum ada laporan resmi mengenai keberadaan varian XEC di Indonesia. Namun, para pakar mengingatkan pentingnya peningkatan pengawasan epidemiologik dan genomik secara nasional.
"Yang penting, variasi epidemiologik ini dipantau ketat, bukan hanya perubahan jumlah kasus dan kematian, tetapi juga pola genomiknya," kata Prof Tjandra.
Surveilans adalah Tulang Punggung dalam Pengendalian COVID
Prof. Tjandra menambahkan bahwa surveilans adalah 'tulang punggung' pengendalian penyakit menular, termasuk COVID-19.
Negara-negara tetangga seperti Malaysia, lanjutnya, masih mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan untuk melaporkan kasus COVID-19 secara real time, sesuai dengan Prevention and Control of Infectious Diseases Act 1988 [Act 342].
Meski situasi belum darurat, vaksinasi tetap menjadi langkah protektif yang penting. Anjuran umum dari para pakar adalah melakukan vaksinasi ulang setahun setelah vaksinasi terakhir.
"Di berbagai toko farmasi besar di New York, seperti CVS, masih tersedia pojok vaksinasi COVID-19, walaupun tidak ada peningkatan kasus di Amerika sekarang ini," ungkap Prof Tjandra yang baru kembali dari Amerika Serikat.
Dia menekankan bahwa keberadaan vaksinasi secara rutin menjadi bentuk kesiapsiagaan yang perlu ditiru oleh negara lain, termasuk Indonesia.
Pemerintah Diminta Tingkatkan Kesiapsiagaan
Terkait dengan peningkatan kasus di negara tetangga, Prof Tjandra mengimbau pemerintah Indonesia untuk mengambil tiga langkah utama.
Pertama, memperkuat sistem surveilans epidemiologik dan genomik. Kedua, memantau pola perubahan kasus di negara-negara sekitar dan global melalui kerja sama regional dan internasional, termasuk dengan ASEAN dan WHO.
"Ketiga, saat ini belum diperlukan pembatasan kedatangan warga dari negara tetangga ataupun pembatasan kunjungan warga kita ke negara lain. Namun, kewaspadaan tetap penting," pungkas Prof Tjandra.