Liputan6.com, Jakarta - Mitos dan stigma seputar penularan HIV atau Human Immunodeficiency Viruses masih menyebar di masyarakat. Tak jarang mitos seperti berpelukan, bersentuhan atau berjabat tangan dengan orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) memicu diskriminasi, bahkan menghambat upaya pencegahan serta pengobatan.
"Jadi HIV itu tidak menular dari seperti berpelukan, berciuman, atau bersentuhan. Itu tidak menular," jelas Spesialis Penyakit Dalam dr Ahmad Akbar, Sp.PD dalam talkshow Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dikutip Kamis (19/6).
Menurutnya, penularan HIV hanya bisa melalui beberapa cara: hubungan seksual yang tidak aman, penggunaan jarum suntik secara bergantian (misalnya pada pengguna narkoba atau saat bertato), dari ibu menyusui kepada bayinya, serta transfusi darah atau penggunaan alat medis yang tidak steril.
Virus HIV sendiri, jelas dr Akbar, hanya bisa hidup di dalam tubuh manusia, khususnya di sel CD4.
“Kalau di luar (tubuh), dia hanya bertahan tidak lama, 1-2 jam sudah mati istilahnya. Jadi, jangan takut (tertular) hketika beraktivitas di luar, apalagi ada orang HIV, bersentuhan langsung, itu tidak tertular,” tambahnya.
Kunci Pencegahan Penularan HIV
Lebih lanjut dr Akbar menjalskan, salah satu kunci utama pencegahan HIV yakni dengan mengenali stasus kesehatan masing-masing.
"Kita harus tahu terlebih dahulu status kesehatan kita, jadi biar tidak menyebarkan, misalnya HIV. Selain kita harus tahu dengan status HIV kita, yang pertama yaitu hindari seks bebas dan lakukan pola aktivitas seksual yang aman, dilarang ganti-ganti jarum suntik pada yang misalnya bertato, atau mungkin narkoba. Itu sesuatu yang sangat berisiko tertularnya HIV," jelas dr Akbar.
Edukasi terhadap ibu hamil untuk melakukan skrining status HIV juga menjadi langkah penting yang perlu dilakukan.
“Pola hidup sehat, aktivitas seksual yang sehat, dan kesadaran untuk melakukan skrining HIV secara berkala — terutama bagi yang berisiko tinggi — sangat penting,” tegasnya.
Pentingnya Skrining Kesehatan
Meski potensi infeksi HIV bisa terjadi akibat bergonta-ganti pasangan seksual, risiko penularan virus ini juga bisa terjadi dalam pernikahan. Hal itu mungkin terjadi jika salah satu pasangan tidak mengetahui status kesehatannya sejak awal.
"Itulah kenapa skrining kesehatan sebelum menikah itu penting, termasuk skrining HIV,” jelas dr Akbar. Menurutnya, langkah ini bukan hanya demi kesehatan pasangan, tapi juga penting untuk melindungi keturunan dari risiko penularan HIV.
Selain calon pengantin, tenaga medis atau individu dengan aktivitas seksual berisiko tinggi juga dianjurkan melakukan tes HIV secara berkala.
“Idealnya, periksa setiap empat sampai enam bulan sekali, apalagi kalau ada potensi tertular dari aktivitas tertentu,” sarannya.
HIV Bisa Dikendalikan, Tapi Belum Bisa Disembuhkan
Lalu, apakah HIV bisa sembuh total? HIV belum bisa disembuhkan, namun, berkat kemajuan pengobatan, infeksi HIV kini bisa dikendalikan dengan obat antiretroviral (ARV) sehingga pasien tetap bisa hidup sehat dan produktif.
“ARV sudah terbukti sangat efektif sekali untuk menekan pembelahan sel virus dalam tubuh pasien dengan HIV ini, sehingga dia tetap bisa sehat dan produktif," jelas dr Akbar.
Obat ARV berfungsi menekan replikasi jumlah sel virus sehingga berada dalam kondisi undetectable atau unstransmittable yang artinya tidak menular kepada individu lainnya.
Ia menekankan pentingnya mengonsumsi ARV secara teratur sesuai anjuran dokter. Menurutnya pada beberapa kasus, pasien berhenti menggunakan ARV karena menemukan kendala atau efek samping dari obat tersebut. Padahal rutin menginsumsi ARV dalam jangka panjang akan membantu ODHIV dapat hidup sehat dan terhindar dari risiko infeksi oprtunistik.
"Jadi, orang HIV itu kadang parahnya itu karena infeksi oportunistik atau penyakit-penyakit yang bisa muncul akibat imun kita tertekan," imbuhnya.
Jika Mengalami Efek Samping ARV
Menyoal efek samping pada awal penggunaan ARV, jelas dr Akbar, terkadang pasien merasakan ruam atau gatal pada kulit.
"Terus ada beberapa juga yang bisa mimpi buruk, misalnya beberapa obat bisa mimpi buruk, atau bisa pusing. Nah, hal-hal tersebut sebenarnya bisa didiskusikan pada dokter," jelasnya.
Jika pasien merasakan sejumlah keluhan tersebut, dr Akbar mengatakan tenaga medis dapat mengganti regimen yang lain yang lebih nyaman bagi pasien.
"Karena kan obat HIV itu banyak regimen-regimennya dan memang cocok-cocokan," ungkapnya.
"Jadi timbulnya efek samping itu bukan berarti harus stop atau tidak cocok. Jangan. Konsultasi lagi dengan dokter," pesan dr Akbar.