Liputan6.com, Jakarta - Meski terdengar seperti penyakit masa lalu, kusta masih menjadi persoalan nyata di Indonesia dan dunia. Tidak banyak yang tahu, bahwa hingga hari ini, Indonesia masih menjadi salah satu dari tiga negara dengan jumlah kasus kusta tertinggi di dunia, bersama India dan Brasil.
Fakta ini ditegaskan oleh Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus mantan pejabat tinggi WHO dan Kementerian Kesehatan, dalam pesan tertulisnya menjelang perhelatan The 22nd International Leprosy Congress (ILC) di Bali, Juli mendatang.
“Kusta kita nomor tiga di dunia,” ungkap Prof. Tjandra, dikutip Jumat, 27 Juni 2025.
“Setiap tahun, masih ada sekitar 200.000 kasus baru kusta di dunia, dan Indonesia masih menyumbang ribuan di antaranya.”
Ribuan Kasus Baru, Termasuk pada Anak
Menurut data Kementerian Kesehatan hingga 31 Mei 2025, tercatat 3.716 kasus baru kusta di Indonesia. Lebih memprihatinkan lagi, dari 30 provinsi yang melaporkan, sebanyak 26 provinsi menemukan kasus kusta pada anak-anak.
“Proporsi kasus anak tahun 2025 bahkan meningkat dibanding tahun 2024,” tulis Prof. Tjandra.
“Ini mengindikasikan banyaknya sumber penularan dari orang dewasa di sekitar anak-anak.”
Meningkatnya kasus kusta pada anak menandakan bahwa penularan masih aktif terjadi di masyarakat. Ini sekaligus menjadi alarm bahwa upaya pengendalian belum maksimal dan stigma terhadap penyakit ini masih menjadi tantangan besar.
Tiga Masalah Utama Pengendalian Kusta
Indonesia memang telah memiliki strategi nasional dalam upaya eliminasi kusta. Namun, masih ada tiga masalah utama yang menghambat kemajuan signifikan:
1. Rendahnya Penemuan Kasus Baru
Berdasarkan data tahun 2024, baru 38,9% dari estimasi kasus yang berhasil ditemukan. Artinya, sebagian besar penderita kusta belum terdeteksi dan belum mendapatkan pengobatan.
2. Cakupan Kemoprofilaksis yang Masih Rendah
Kemoprofilaksis adalah langkah pencegahan dengan pemberian antibiotik pada kontak erat penderita. Sayangnya, cakupan kemoprofilaksis di Indonesia baru mencapai 13,9% pada 2024, jauh dari target 80%.
3. Ketidaktepatan Waktu dalam Penyelesaian Pengobatan
Meski kusta bisa disembuhkan dengan terapi Multidrug Therapy (MDT), hanya 84% pasien yang menyelesaikan pengobatannya tepat waktu.
Menuju Indonesia Bebas Kusta
Berbagai tantangan ini akan menjadi fokus pembahasan dalam Kongres Internasional Kusta yang akan digelar pada 7–9 Juli 2025 di Bali. Kongres bergengsi ini mengangkat tema “Towards a World with Zero Leprosy”, dan akan membahas tiga hal utama:
- Pemutakhiran data prevalensi dan strategi eliminasi
- Penguatan diagnosis dan pengobatan dengan MDT
- Penanganan stigma dan rehabilitasi sosial
Bagi Indonesia, kongres ini bukan hanya ajang diskusi global, tetapi juga peluang besar untuk menguatkan komitmen dalam upaya eliminasi kusta di dalam negeri.
“Tentu harapan kita ini bukan hanya internasional,” ujar Prof. Tjandra. “Akan baik kalau kegiatan di Bali ini juga merupakan langkah penting ‘Towards Indonesia with Zero Leprosy’.”
Lebih dari Sekadar Penyakit Kulit
Kusta bukan hanya soal bercak kulit atau kerusakan saraf. Dampak sosial dan psikologisnya juga luar biasa besar. Banyak penderita yang mengalami diskriminasi, dijauhi, bahkan kehilangan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Karena itu, pengendalian kusta tidak cukup hanya dengan obat. Butuh pendekatan menyeluruh, mulai dari deteksi dini, edukasi masyarakat, hingga pemberdayaan pasien untuk kembali menjalani hidup yang bermartabat.
Masyarakat Perlu Terlibat
Peran masyarakat sangat penting dalam mendeteksi gejala dini kusta, seperti bercak mati rasa di kulit atau kelemahan otot. Semakin cepat ditangani, semakin besar peluang untuk sembuh tanpa kecacatan.
Yang tak kalah penting, kita perlu menghapus stigma terhadap kusta. Penyakit ini bukan kutukan, bukan aib, dan sangat bisa disembuhkan. Semakin banyak orang paham dan peduli, semakin besar kemungkinan Indonesia benar-benar bebas dari kusta.