Kemenkes Ungkap Ada 2.700 Kasus HIV pada Remaja, Bagaimana Intervensinya?

4 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) melaporkan 2.700 kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada remaja usia 15-19 tahun hingga Maret 2025.

“Faktanya, sampai Maret 2025, ada 2.700 remaja usia 15-19 tahun di Indonesia yang hidup dengan HIV,” mengutip Instagram Kemenkes, Kamis (19/6/2025).

Tingginya angka remaja yang mengidap HIV disebabkan beberapa hal, seperti:

  • Minim terpapar informasi atau tak memiliki akses informasi.
  • Tak mengetahui cara pencegahan HIV.
  • Tidak memiliki kesadaran terhadap risiko perilaku seksual.
  • Tak memiliki pengetahuan tentang HIV.

Sebanyak 2.700 remaja yang mengidap HIV memiliki latar belakang berbeda yakni pekerja seks, pengguna NAPZA suntik, transgender, dan lelaki seks lelaki (LSL).

“Siapapun bisa terinfeksi HIV, jauhi virusnya, bukan orangnya, Cegah HIV dengan perilaku sehat dan tidak berisiko,” pesan Kemenkes.

Peningkatan kasus HIV pada remaja sudah terjadi sejak 2023. Sebelumnya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, dr. Ina Agustina Isturini, menyampaikan bahwa laporan prevalensi HIV/AIDS pada remaja dan dewasa muda usia 15-24 tahun per 2023 meningkat di beberapa negara dibanding tahun 2019.

“Prevalensi HIV pada populasi lelaki seks dengan lelaki atau LSL remaja dan dewasa muda di beberapa negara di Asia termasuk Indonesia, menunjukkan peningkatan lebih tinggi dari rata-rata global,” kata Ina dalam webinar Penanggulangan HIV pada Remaja dan Orang Muda, 28 November 2024.

Penderita HIV/AIDS masih terus berjuang melawan stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap penyakit yang dideritanya. Sebagian orang masih mengangkat HIV/AIDS adalah penyakit yang menakutkan.

Perlu Perkuat Pencegahan dan Pendidikan Reproduksi

Dia menambahkan, remaja dan dewasa muda memiliki kerentanan mengalami kekerasan seksual.

Maka dari itu, upaya pencegahan dan pendidikan reproduksi di kalangan remaja dan orang muda perlu ditingkatkan.

“Berbagai upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS dan IMS (infeksi menular seksual) terus kita lakukan. Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan kepedulian dan memperkuat komitmen dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.”

“Kami berharap seluruh jajaran kesehatan, kementerian/lembaga dan mitra terkait dapat mengambil peran aktif dalam edukasi, melakukan sosialisasi, serta melaksanakan berbagai kegiatan yang mendukung penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di wilayah masing-masing,” harap Ina.

Kombinasi 3 Intervensi untuk Penanggulangan HIV pada Remaja

Dalam kesempatan yang sama, aktivis HIV/AIDS, Erlian Rista Aditya, MKM., menyampaikan bahwa penanggulangan HIV pada remaja dapat dilakukan dengan kombinasi tiga intervensi.

“Intervensi perubahan perilaku (IPP), intervensi biomedis, dan intervensi struktural,” kata magister kesehatan masyarakat yang telah 27 tahun berkecimpung di dunia HIV/AIDS.

Intervensi perubahan perilaku mencakup beberapa hal, termasuk:

  • Mengubah perilaku berisiko HIV menjadi perilaku aman.
  • Mempertahankan status HIV negatif tetap negatif.
  • Primary prevention atau mencegah infeksi HIV sebelum terjadi.

Sedangkan, intervensi biomedis mencakup:

  • Mencegah penularan HIV dan mengobati orang dengan HIV (ODHIV).
  • Mengurangi morbiditas, mortalitas, dan penyebaran virus
  • Secondary & tertiary prevention: deteksi dini HIV, mencegah penularan/positive prevention, manajemen penyakit, mencegah komplikasi.

Sementara, intervensi struktural mencakup:

  • Mengubah lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan hukum untuk mengurangi kerentanan terhadap HIV.
  • Meningkatkan akses terhadap layanan pencegahan serta perawatan dan dukungan pengobatan (PDP).

3 Intervensi HIV pada Remaja Punya Fokus Berbeda

Direktur The Meeting Targets and Maintaining Epidemic Control (EpiC) Indonesia itu menerangkan, fokus dari masing-masing intervensi itu berbeda sehingga perlu dilakukan secara simultan (serentak).

“Intervensi perubahan perilaku lebih fokus promotif preventif yang intinya mencegah HIV sebelum terjadi.”

Ini merupakan paket kegiatan (bukan kegiatan tunggal) yang bertujuan mengubah pengetahuan, sikap, keyakinan kesehatan, perilaku atau tindakan individu maupun populasi untuk mengurangi perilaku berisiko HIV.

Bentuknya dapat berupa penyuluhan dan edukasi HIV/AIDS, promosi perilaku aman, peningkatan kesadaran tes HIV, pendekatan edukasi sebaya, intervensi berbasis media digital, hingga skrining HIV berbasis komunitas.

“Sementara intervensi biomedis lebih fokus untuk mencegah penularan HIV karena mereka sudah positif dan mengobati ODHIV, termasuk mengurangi morbiditas (kesakitan), mortalitas (kematian), dan penyebaran virusnya,” jelas pria yang akrab disapa Aan.

Intervensi biomedis mencakup skrining perilaku berisiko HIV, tes HIV tertarget pada mereka yang berisiko, pengantaran ARV ke rumah pasien, pemantauan cakupan tes, hingga manajemen pasien tidak tersurvei.

“Yang ketiga adalah intervensi struktural, ini fokus pada lingkungan tertentu yang bisa dipengaruhi supaya lingkungan kondusif bisa diciptakan. Target intervensi struktural sebenarnya untuk meningkatkan akses terhadap layanan pencegahan dan pengobatan,” imbuhnya.

Artinya, intervensi struktural fokus pada faktor-faktor tingkat populasi dan sistemik yang memengaruhi epidemi HIV, bukan hanya pada perilaku individu.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |