Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) mengungkap data Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada remaja usia 15-19 tahun capai 2.700 kasus hingga Maret 2025.
“Faktanya, sampai Maret 2025, ada 2.700 remaja usia 15-19 tahun di Indonesia yang hidup dengan HIV,” mengutip Instagram Kemenkes, Kamis (19/6/2025).
Dalam keterangan lain, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap hasil Global School Based-student Health Survey (GSHS 2023).
Menurut Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Tin Afifah, hasil survei GSHS 2023 menunjukkan beberapa temuan penting, termasuk tentang perilaku seksual remaja.
“Proporsi siswa laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual lebih besar dibandingkan perempuan. Tren perilaku seksual pranikah juga menunjukkan peningkatan pada kedua kelompok,” kata Afifah dalam webinar Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, pada Selasa (17/06/2025).
Dia menambahkan, remaja adalah kelompok yang rentan terhadap berbagai perilaku berisiko termasuk yang memicu HIV.
“Perilaku seksual yang tidak aman, berisiko menyebabkan kehamilan tidak diinginkan serta penularan HIV/PMS (penyakit menular seksual),” ujar Afifah.
Padahal, usia remaja merupakan masa transisi yang menentukan status kesehatan seseorang sepanjang hidupnya. Maka dari itu, investasi pada kesehatan remaja menjadi kunci untuk mencegah perilaku berisiko dan menghindari penyakit.
“Pada fase ini, pencegahan risiko terkait kesehatan reproduksi juga perlu menjadi prioritas guna menekan angka kematian ibu di masa mendatang,” imbuhnya.
Sebelumnya, Kemenkes menerangkan bahwa tingginya angka remaja yang mengidap HIV disebabkan beberapa hal, seperti:
- Minim terpapar informasi atau tak memiliki akses informasi.
- Tak mengetahui cara pencegahan HIV.
- Tidak memiliki kesadaran terhadap risiko perilaku seksual.
- Tak memiliki pengetahuan tentang HIV.
Sebanyak 2.700 remaja yang mengidap HIV masuk dalam kelompok berisiko seperti pekerja seks, pengguna NAPZA suntik, transgender, dan lelaki seks lelaki (LSL).
Penderita HIV/AIDS masih terus berjuang melawan stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap penyakit yang dideritanya. Sebagian orang masih mengangkat HIV/AIDS adalah penyakit yang menakutkan.
Perilaku Berisiko Remaja Selain Hubungan Seksual
Tak hanya perilaku seksual yang berujung pada HIV, Afifah turut menyoroti berbagai perilaku berisiko yang berdampak negatif pada kesehatan remaja. Misalnya, gangguan kesehatan mental dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Pola makan tidak sehat—seperti konsumsi makanan tinggi lemak, gula, dan garam—berisiko memicu obesitas, penyakit jantung, dan diabetes melitus.
Sementara itu, merokok menjadi salah satu faktor risiko utama berbagai penyakit kronis seperti kanker, gangguan jantung, dan pernapasan.
Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak organ hati, meningkatkan risiko penyakit jantung, dan menyebabkan kecelakaan. Penggunaan obat-obatan terlarang berdampak pada kerusakan otak dan kecanduan. Ditambah, kurangnya aktivitas fisik berkontribusi terhadap obesitas dan penyakit kardiovaskular.
Hasil Survei GSHS selain Soal Perilaku Seksual Remaja
Selain perilaku seks, survei ini juga menunjukkan tingginya proporsi gangguan kesehatan mental dan upaya bunuh diri pada siswa perempuan dibandingkan laki-laki.
Proporsi siswa perempuan yang secara serius mempertimbangkan bunuh diri lebih tinggi daripada siswa laki-laki. Meski demikian, tingkat ini di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Thailand dan Filipina.
Demikian pula, proporsi siswa perempuan yang pernah mencoba bunuh diri juga lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Namun, angka di Indonesia masih di bawah Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina.
Dalam hal pola makan berisiko, siswa laki-laki tercatat lebih sering mengonsumsi minuman berpemanis. Untuk penggunaan tembakau, siswa laki-laki berusia 13–17 tahun lebih banyak menggunakan produk tembakau dibandingkan siswa perempuan. Namun, tren peningkatan justru lebih signifikan terjadi pada siswa perempuan. Menariknya, penggunaan rokok konvensional di Indonesia lebih tinggi dibandingkan Thailand, dan rokok elektrik lebih banyak digunakan oleh siswa laki-laki.
Sementara itu, dalam aspek aktivitas fisik, siswa laki-laki justru cenderung lebih malas bergerak dibandingkan siswa perempuan.
Dalam hal konsumsi alkohol, siswa laki-laki juga tercatat lebih tinggi dibandingkan perempuan, dengan prevalensi tertinggi di wilayah timur Indonesia (Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku). Sementara itu, sekitar 1,6 persen siswa di Indonesia tercatat menggunakan obat-obatan terlarang, dengan proporsi lebih tinggi pada siswa laki-laki. Meski persentasenya relatif kecil, angka ini tetap menunjukkan adanya kelompok siswa yang terpapar narkoba.
Peran Sekolah dalam Intervensi Kesehatan Remaja
Lebih lanjut, Afifah mengatakan bahwa sekolah memiliki peran krusial dalam intervensi kesehatan remaja.
“Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, angka partisipasi sekolah usia 13–15 tahun (setara SMP) itu sekitar 96 persen, dan usia 16–18 tahun (SMA) sekitar 73,1 persen. Artinya, sekolah menjadi sebuah institusi yang dapat digunakan untuk intervensi kesehatan remaja, mengingat hampir tujuh jam waktu mereka dihabiskan di sekolah,” jelas Afifah.
Pada paparan bertajuk Peran Riset Kesehatan Remaja dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045, Afifah juga menjelaskan soal Survei GSHS.
Survei yang diinisiasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ini mengumpulkan data sistematis dari kalangan remaja. Dalam hal ini, GSHS menyediakan informasi akurat terkait perilaku kesehatan dan faktor protektif di kalangan siswa, guna mendukung kebijakan dan program kesehatan sekolah dan remaja di berbagai negara.
Menurutnya, GSHS di Indonesia telah dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 2007, 2015, dan 2023. Survei 2023, mencakup 11 topik utama yang melingkupi perilaku diet, hygiene (gigi dan cuci tangan), kekerasan dan cedera, kesehatan mental, penggunaan tembakau, penggunaan alkohol, penggunaan narkoba, perilaku seksual, aktivitas fisik, faktor protektif, dan media sosial.
Pelaksanaan GSHS 2023 mengacu pada manual dan kuesioner versi 2021, dengan desain cross-sectional dan metode two-stage cluster sampling.
Sebanyak 79 sekolah di berbagai wilayah menjadi sampel survei, dengan total 10.059 siswa berpartisipasi (response rate 84,6 persen).
Menutup pemaparannya, Afifah menyimpulkan bahwa secara umum, perilaku berisiko di kalangan siswa Indonesia menunjukkan peningkatan bila dibandingkan GSHS sebelumnya. Kecuali pada indikator kurangnya aktivitas fisik pada siswa perempuan yang justru mengalami penurunan.
Siswa laki-laki lebih menonjol dalam perilaku berisiko seperti konsumsi minuman berpemanis, penggunaan tembakau, alkohol, obat-obatan terlarang, dan perilaku seksual pranikah. Sebaliknya, siswa perempuan menunjukkan proporsi yang lebih tinggi pada masalah kesehatan mental.
Dari segi wilayah, siswa dari kawasan di luar Jawa dan Sumatra memperlihatkan angka perilaku berisiko yang lebih tinggi dibandingkan region Jawa-Bali dan Sumatra.
“Secara umum, hasil GSHS Indonesia tahun 2023 untuk indikator perilaku berisiko lebih tinggi dibandingkan GSHS Brunei Darussalam tahun 2019, namun masih lebih rendah dibandingkan Thailand (2021) dan Filipina (2019 dan 2024),” tutup Afifah.