Fenomena Ormas Minta THR, Sosiolog: Praktik Pemerasan Berkedok Tradisi

3 days ago 16

Liputan6.com, Jakarta - Lebaran 2025 sudah di depan mata, tetapi perayaan Idul Fitri tahun ini kembali diwarnai dengan aksi pemalakan tunjangan hari raya (THR) oleh oknum organisasi masyarakat (ormas). Sejumlah laporan menyebutkan bahwa ormas minta THR dengan berbagai alasan, mulai dari sumbangan sukarela hingga tradisi tahunan yang dianggap lumrah.

Fenomena ormas minta THR ini semakin marak terjadi, terutama di media sosial, di mana banyak pihak mengungkapkan pengalaman mereka menghadapi permintaan THR secara paksa. Para pelaku usaha maupun masyarakat umum menjadi sasaran utama dalam praktik ini.

Menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. A.B Widyanta, S.Sos., M.A., praktik ini tidak hanya ilegal tetapi juga mencerminkan persoalan sosial yang lebih mendalam.

Dia menekankan bahwa ormas minta THR bukan hanya tindakan melanggar hukum, tetapi juga menunjukkan adanya tekanan sosial dan ekonomi yang memicu tindakan menyimpang. 

Widya menegaskan bahwa meskipun ada banyak ormas yang bergerak di bidang sosial, nyatanya ada pula kelompok yang menyalahgunakan identitas ormas untuk melakukan pemalakan terhadap pengusaha.

"Ini bagian dari praktik pemerasan. Baik yang dilakukan secara halus melalui berbagai bentuk tekanan sosial dan permintaan yang tampak bersifat sukarela, maupun secara terang-terangan dengan ancaman langsung yang dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan para pengusaha dalam menjalankan bisnis mereka," ujar Widyanta pada Kamis, 27 Maret 2025, mengutip laman UGM.

Ia menegaskan bahwa setiap perusahaan sudah memiliki mekanisme dan aturan tersendiri terkait tanggung jawab sosial mereka. Sehingga, tuntutan ormas minta THR tidak memiliki dasar yang sah.

Mengaku sebagai sebuah anggota organisasi kemasyarakatan atau ormas, seorang pria yang diduga mabuk memalak sejumlah pelaku usaha dengan dalih meminta uang THR di Jalan Lebak Bulus Raya, Cilandak, Jakarta Selatan.

Promosi 1

Efisiensi Perburuk Keadaan

Widyanta juga menyoroti bahwa fenomena ormas minta THR ini tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial dan ekonomi. Banyak anggota ormas berasal dari kelompok masyarakat dengan pekerjaan tidak tetap atau bersifat kasual.

"Ketika kondisi ekonomi sulit, beberapa pihak mencari cara lain untuk mendapatkan pemasukan, termasuk dengan cara yang tidak benar, seperti memaksa pengusaha untuk memberikan THR," ujarnya.

Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah turut memperburuk keadaan. Pemotongan anggaran daerah menyebabkan sumber pemasukan bagi masyarakat kelas bawah semakin berkurang. Hal ini semakin memperlebar kesenjangan sosial yang menjadi pemicu utama maraknya aksi pemalakan THR oleh ormas.

Ketimpangan Ekonomi Terpampang di Media Sosial

Menurut Widyanta, faktor lain yang turut mendorong fenomena ormas minta THR adalah ketimpangan sosial yang semakin melebar. Gaya hidup mewah yang dipertontonkan kelompok elit oligarki di berbagai platform media sosial dan ruang publik sering kali menciptakan kecemburuan sosial di masyarakat bawah.

"Fenomena ini tidak sekadar menciptakan kecemburuan sosial biasa, tetapi juga membentuk rasa frustrasi kolektif di kalangan masyarakat kelas bawah yang merasa akses mereka terhadap sumber daya ekonomi semakin terbatas," ungkapnya.

Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya ekonomi memicu ketidakpuasan yang pada akhirnya bisa mendorong kelompok tertentu melakukan tindakan menyimpang, termasuk aksi pemalakan THR oleh ormas.

"Ketika ketidakadilan sosial ini terus terjadi, sementara budaya konsumtif semakin dipertontonkan tanpa kontrol, maka gejolak sosial pun semakin besar," tambahnya.

Ormas Minta THR, Perlu Penegakan Hukum yang Tegas

Widyanta menegaskan bahwa praktik premanisme yang dilakukan oleh ormas dalam meminta THR ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Dampaknya tidak hanya merugikan dunia usaha, tetapi juga berpotensi mengganggu kestabilan sosial.

"Penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu dan tidak boleh terhambat oleh kepentingan politik atau kedekatan kelompok tertentu dengan aparat," tegasnya.

Lebih lanjut, Widyanta menekankan bahwa meskipun ormas yang melakukan pemalakan ini adalah bagian kecil dari permasalahan besar yang dihadapi negara, keberadaan mereka tetap menjadi ancaman bagi iklim usaha yang sehat.

"Jika praktik ini terus dibiarkan, maka dampaknya bukan hanya merugikan pengusaha, tetapi juga menghambat investasi, meningkatkan biaya ekonomi, dan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah," paparnya.

Sebagai langkah solutif, pemerintah harus hadir untuk melindungi para pengusaha dari tekanan semacam ini. Ormas yang beroperasi di luar batas hukum perlu ditertibkan, dan jaminan perlindungan bagi pelaku usaha harus diberikan agar mereka bisa menjalankan bisnisnya dengan aman tanpa adanya tekanan dari kelompok mana pun.

"Jika tidak ada tindakan tegas, maka situasi ini akan semakin memperburuk kondisi ekonomi dan sosial di Indonesia," tutup Widyanta.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |