Kasus COVID-19 di Asia Merangkak Naik, Bagaimana Antisipasi Indonesia?

11 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 kembali menunjukkan tren peningkatan signifikan di sejumlah negara Asia dalam beberapa bulan terakhir. Hong Kong dan Singapura menjadi dua wilayah dengan lonjakan kasus tertinggi, diikuti Tiongkok dan Thailand. Kondisi ini mendorong otoritas kesehatan di masing-masing negara untuk kembali menyerukan pentingnya vaksinasi booster, terutama bagi kelompok rentan.

Menurut Pusat Perlindungan Kesehatan Hong Kong, virus SARS-CoV-2 masih cukup aktif menyebar. Sementara itu, Kementerian Kesehatan Singapura menegaskan bahwa peningkatan kasus saat ini belum menunjukkan adanya varian baru yang lebih menular atau menyebabkan penyakit lebih berat dibandingkan fase pandemi sebelumnya.

“Meskipun peningkatan kasus dapat disebabkan oleh beberapa faktor termasuk menurunnya kekebalan populasi, tidak ada indikasi bahwa varian yang beredar lebih mudah menular – atau menyebabkan kasus yang lebih parah – dibandingkan selama pandemi,” jelas Kementerian Kesehatan Singapura.

Hong Kong Catat Kasus Parah Tertinggi dalam Setahun

Hong Kong mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah kasus positif COVID-19 dalam beberapa pekan terakhir. Albert Au, Kepala Cabang Penyakit Menular di Centre for Health Protection, mengungkapkan bahwa persentase sampel pernapasan yang positif telah mencapai rekor tertinggi selama satu tahun terakhir.

Berdasarkan laporan Bloomberg, terdapat 31 kasus parah yang dilaporkan di Hong Kong dalam sepekan pada 3 Mei 2025, angka tersebut tertinggi dalam 12 bulan terakhir.

Peningkatan kasus juga tercermin dari konsentrasi virus yang makin tinggi dalam sampel air limbah kota, sebuah indikator kuat bahwa transmisi komunitas sedang berlangsung. Dampaknya mulai terasa di fasilitas kesehatan, dengan lebih banyak warga mendatangi rumah sakit dan klinik karena gejala yang menyerupai COVID-19.

Bahkan, industri hiburan pun ikut terdampak. Penyanyi kenamaan Eason Chan dikabarkan positif COVID-19 dan terpaksa membatalkan konsernya di Taiwan.

Kasus di Singapura Naik 28 Persen, Pemerintah Dorong Booster

Situasi serupa terjadi di Singapura. Kementerian Kesehatan Singapura (MOH) melaporkan lonjakan kasus COVID-19 sebesar 28 persen pada pekan yang berakhir 3 Mei 2025, dengan estimasi 14.200 kasus baru. Sebelumnya, jumlah kasus mingguan berada di angka 11.100.

Kenaikan juga terjadi pada angka perawatan inap terkait COVID-19, yang meningkat hingga 30 persen dalam periode yang sama.

Yang menarik, ini merupakan pembaruan data besar pertama dari Singapura dalam satu tahun terakhir, langkah yang biasanya hanya dilakukan ketika terjadi outbreak besar.

Meski tidak ditemukan varian baru yang lebih berbahaya, otoritas tetap mewaspadai potensi risiko pada kelompok rentan.

“Tidak ada bukti peningkatan virulensi atau efek keparahan dari varian yang saat ini beredar,” tegas Kementerian Kesehatan Singapura.

Oleh karena itu, pemerintah mendesak kelompok lansia dan individu dengan gangguan sistem imun untuk segera mendapatkan vaksinasi penguat.

China dan Thailand Alami Tren Serupa

Di Tiongkok, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) melaporkan lonjakan tajam kasus COVID-19 dalam lima pekan terakhir menjelang 4 Mei 2025. Tingkat tes positif di rumah sakit meningkat lebih dari dua kali lipat, mengindikasikan potensi gelombang baru seperti yang terjadi pada musim panas tahun lalu.

Sementara di Thailand, dua outbreak besar telah terjadi sepanjang tahun ini. Lonjakan terbaru muncul pasca-perayaan Songkran pada April lalu—libur tradisional yang dikenal memicu kerumunan besar. Departemen Pengendalian Penyakit setempat memperkirakan perayaan tersebut menjadi salah satu faktor penyebab peningkatan transmisi.

Sebagai langkah mitigasi, otoritas kesehatan di kedua negara mendorong masyarakat, khususnya mereka yang berisiko tinggi, untuk melakukan vaksinasi ulang dan menerima booster COVID-19.

Seberapa Berbahaya LF.7 dan NB.1.8?

Berdasarkan laporan dari masing-masing negara tersebut, dipicu oleh penyebaran subvariant Omicron terbaru, termasuk subvarian seperti XEC dan JN.1 serta turunannya.

“Varian yang saat ini dominan adalah LF.7 dan NB.1.8, yang merupakan turunan dari varian JN.1. Keduanya mencakup lebih dari dua pertiga kasus yang telah diurutkan,” tulis laporan resmi dari Kementerian Kesehatan Singapura.

Lalu seberapa berbahaya subvarian LF.1 dan NB.1.8?

Menurut epidemiolog Dicky Budiman mengatakan hingga saat ini belum ada bukti kuat LF.1 dan NB.1.8 berdampak pada keparahan orang yang terinfeksi.

"Belum ada bukti, sebagian besar pasien apalagi yang sudah booster vaksin COVID-19 memperlihatkan gejala ringan walau ada juga sekelompok yang alami gejala sedang," tutur Dicky dalam keterangan kepada Health Liputan6.com pada Selasa, 20 Mei 2025.

Hal ini juga diperkuat dengan tidak ada lonjakan pasien ICU di Singapura usai ada peningkatan kasus COVID-19 di sana.

Karakter LF.7 dan NB.1.8 yang Lain

LF.7 mulai mendominasi penularan di Singapura sejak awal Maret 2025. Disusul dengan NB.1.8.Menurut data, kedua varian ini memiliki mutasi penting pada spike protein. Hal ini meningkatkan daya lekat saat menginfeksi manusia.

"LF.7 dan NB.1.8 punya mutasi penting pada spike protein yang meningkatkan daya lekat ada reseptor manusia," kata mantan peneliti di Griffith University Australia itu.

LF.1 dan NB.1.8 juga memiliki kemampuan escape immunity dimana virus varian itu mampu menghindari antibodi yang terbentuk terlebih pada orang yang sudah divaksinasi COVID-19 lebih dari dua tahun.

"Inilah yang menjawab kenapa kasusnya (di Singapura) menjadi banyak. Ya karena unggul dalam penularan dan mampu menghindari antibodi," tutur Dicky.

Surveilans Menjadi Kunci

Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara 2018–2020,  Prof. Tjandra Yoga Aditama, menegaskan surveilans menjajdi strategi utama dalam menghadapi ancaman varian baru COVID-19. 

"Surveilans adalah tulang punggung pengendalian penyakit menular, termasuk COVID-19," ujar Prof. Tjandra kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Rabu, 21 Mei 2025. Dia mencontohkan sistem surveilans di Malaysia yang dinilai sangat sistematis.

Negara tersebut masih memberlakukan Prevention and Control of Infectious Diseases Act 1988 [Act 342], yang mewajibkan semua fasilitas kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, untuk melaporkan kasus COVID-19 secara real time.

"Hal ini memungkinkan deteksi dini dan respons cepat terhadap potensi wabah," kata Prof. Tjandra, yang juga Adjunct Professor di Griffith University Australia.

Prof. Tjandra juga mengingatkan bahwa COVID-19 masih beredar di tengah masyarakat. Maka, peningkatan kasus sewaktu-waktu bisa terjadi, termasuk di Indonesia. 

"Yang penting adalah variasi epidemiologik ini harus terus dipantau ketat. Bukan hanya jumlah kasus dan kematian, tetapi juga pola genomiknya," ujarnya. 

Di Singapura, varian JN.1 dan turunannya masih dominan. Sementara di Thailand, terdeteksi varian baru bernama XEC, yang merupakan hasil rekombinasi dari subvarian FLiRT (KS.1.1) dan FLuQE (KP.3.3). 

Varian XEC pertama kali ditemukan di Jerman pada Juni 2024 dan kini sudah menyebar ke sedikitnya 15 negara.

"Varian ini mengandung beberapa mutasi yang membuatnya lebih mudah menular. Namun, hingga kini belum ada laporan resmi mengenai keberadaan varian XEC di Indonesia," tambah Prof. Tjandra.

Menanggapi peningkatan kasus COVID-19 di sejumlah negara di Asia, Kementerian Kesehatan RI memastikan bahwa kondisi penyebaran COVID-19 di Tanah Air masih dalam batas aman. Penguatan sistem pemantauan penyakit menular terus dilakukan secara konsisten.

“Di tengah dinamika global, kami ingin menyampaikan bahwa kondisi di Indonesia tetap aman. Surveilans penyakit menular, termasuk COVID-19, terus kami perkuat, baik melalui sistem sentinel maupun pemantauan di pintu masuk negara,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, Senin (19/5).

Meski situasi di Indonesia saat ini terkendali, masyarakat diimbau untuk tetap menjaga kebersihan, menghindari kerumunan jika sakit, serta memantau informasi resmi dari pemerintah terkait perkembangan situasi COVID-19.

Vaksinasi Masih Relevan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa varian JN.1 lebih sulit dinetralkan oleh sistem imun. Penelitian yang melibatkan virus hidup dan pseudovirus yang dibuat di laboratorium telah menunjukkan bahwa antibodi dari individu yang divaksinasi atau pernah terinfeksi kurang efektif dalam memblokir JN.1 dibandingkan dengan varian sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa JN.1 sebagian dapat menghindari pertahanan imun tubuh yang ada.

Penguat monovalen XBB.1.5, vaksin COVID-19 yang secara khusus dirancang untuk menargetkan subvarian XBB.1.5 dari Omicron, telah terbukti dalam beberapa penelitian dapat meningkatkan perlindungan terhadap varian JN.1, kata WHO.

Rekomendasi vaksinasi COVID-19 bagi kelompok rentan juga diutarakan oleh Prof Tjandra Yoga Aditama dan epidemiolog Dicky Budiman. 

Kelompok rawan yang dimaksud Dicky termasuk diantaranya orang lanjut usia (lansia) dengan penyakit penyerta atau komorbid.

"Kalau ingin meningkatkan proteksi kelompok yang sudah masuk kategori lansia yang punya komorbid apalagi yang sering bepergian, liburan, atau didatangi anak yang punya mobilitas tinggi, ya penting," kata Dicky kepada Health Liputan6.com pada Selasa, 20 Mei 2025.

Menurut Dicky, vaksinasi booster tidak perlu dilakukan setiap tahun. Bisa tiap dua tahun sekali untuk meningkatkan perlindungan terhadap virus penyebab COVID-19

Dalam hal pencegahan, Prof. Tjandra menyebut bahwa vaksinasi tahunan menjadi langkah penting.

"Saat saya berada di New York minggu lalu, semua toko farmasi besar seperti CVS menyediakan pojok vaksinasi, termasuk COVID-19, meski kasus di sana sedang landai," katanya.

 Ia menyarankan vaksin yang melindungi saluran pernapasan, seperti vaksin influenza dan COVID-19.

Dalam menghadapi potensi peningkatan kasus dan munculnya varian baru, Prof. Tjandra menyarankan tiga langkah utama yang harus dilakukan pemerintah Indonesia:

  • Meningkatkan surveilans epidemiologik dan genomik.
  • Memantau ketat perubahan epidemiologik di negara tetangga dan dunia, melalui kerja sama ASEAN dan WHO.
  • Tidak perlu menerapkan pembatasan perjalanan dari atau ke negara tetangga saat ini, namun tetap meningkatkan kewaspadaan.

"Belum diperlukan pembatasan masuknya warga dari negara tetangga, maupun pembatasan perjalanan warga kita ke luar negeri. Tapi kita harus tetap waspada," pungkas Prof. Tjandra. 

Apa artinya ini bagi masa depan COVID-19 di Asia?

Lonjakan kasus COVID-19 yang saat ini terjadi di berbagai negara Asia kembali menjadi alarm pengingat bahwa pandemi belum benar-benar usai. Kenaikan kasus justru terjadi di tengah musim panas—fakta yang menggoyahkan asumsi bahwa virus ini akan menurun seperti pola musiman flu.

Negara-negara seperti Hong Kong, Singapura, Tiongkok, dan Thailand kini mengambil langkah serius untuk merespons situasi ini. Pemerintah memperkuat kerja sama dalam hal berbagi data, menyelaraskan pesan-pesan kesehatan publik, serta menggencarkan kampanye vaksinasi penguat bagi masyarakat.

Pakar kesehatan melihat gelombang kasus ini sebagai sinyal tegas bahwa COVID-19 masih menjadi ancaman yang nyata. “COVID-19 belum berakhir,” demikian pernyataan yang kini kembali digaungkan oleh otoritas kesehatan di berbagai negara. Meski dunia telah melalui berbagai fase sejak awal pandemi tahun 2020, virus ini terbukti tetap memiliki kemampuan untuk mengganggu kehidupan sehari-hari dan memberi tekanan serius pada sistem layanan kesehatan—terutama saat kewaspadaan masyarakat mulai kendur.

Lonjakan kasus ini disebut terjadi akibat beberapa faktor utama, antara lain penurunan kekebalan tubuh terhadap virus seiring waktu, serta meningkatnya aktivitas sosial dan perjalanan di berbagai negara.

Situasi ini menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap COVID-19 bukan hanya soal kebijakan, tapi juga soal kepedulian bersama. Upaya vaksinasi lanjutan, perilaku hidup bersih dan sehat, serta kewaspadaan individu masih sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas kesehatan publik di tengah era pascapandemi yang masih dinamis.

Foto Pilihan

Tim Gates Foundation yang diwakili Senior CMC Advisor Vaccine Development Rayasam Prasad mendapat penjelasan dari seorang staf saat meninjau Laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (15/5/2025). (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Read Entire Article
Helath | Pilkada |