Jangan Anggap Sepele Batuk Lama dan Pusing, Bisa Jadi Kanker Paru-paru

3 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Batuk tak kunjung sembuh selama lebih dari dua minggu, disertai gejala seperti kepala pusing dan penurunan berat badan, bisa menjadi tanda awal kanker paru-paru.

Kondisi ini sering kali tidak disadari karena gejalanya mirip dengan penyakit ringan seperti flu atau bahkan Tuberkulosis (TB).

Kanker paru kini menjadi penyebab kematian nomor satu akibat kanker di dunia. Di Indonesia, kanker paru berada di posisi kedua kasus kanker terbanyak.

Berdasarkan data Global Cancer Statistic 2020, dari total 2,2 juta kasus kanker paru di dunia, sebanyak 1,8 juta pasien meninggal dunia.

"Kebanyakan pasien datang ke rumah sakit saat sudah berada pada stadium lanjut atau stadium 4, karena selama ini tidak merasakan gejala yang berarti," Pulmonologi (Paru) Subspesialis Onkologi Toraks dari MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dr. Linda Masniari, SpP (K).

Padahal, jika kanker paru terdeteksi secara dini, angka harapan hidup pasien bisa meningkat secara signifikan, bahkan bisa bertahan hidup lebih dari lima tahun.

Oleh karena itu, penting untuk melakukan screaning terutama bagi kelompok berisiko tinggi.

Gejala Awal Kanker Paru yang Sering Diabaikan

Beberapa gejala awal kanker paru yang perlu diwaspadai antara lain:

  1. Batuk lebih dari dua minggu
  2. Kepala pusing
  3. Berat badan menurun drastis
  4. Nafsu makan hilang
  5. Sesak napas atau nyeri dada
  6. Riwayat merokok atau paparan polusi dalam jangka panjang

"Ketika seseorang mengalami batuk-batuk tidak kunjung sembuh selama dua minggu hingga satu bulan, usia di atas 45 tahun, kepala pusing, berat badan menurun, dan punya kebiasaan merokok, itu perlu segera diperiksa lebih lanjut," ujar dr. Linda.

Deteksi Dini Lewat Low Dose CT Scan (LDCT)

Selama ini, pemeriksaan awal menggunakan foto thoraks hanya bisa mendeteksi benjolan berukuran lebih dari 3 cm. Sementara kanker paru stadium awal bisa berupa nodul kecil yang tidak terlihat di rontgen biasa.

"Sekarang sudah dianjurkan untuk melakukan skrining dengan Low Dose CT Scan (LDCT) karena lebih akurat mendeteksi nodul kecil. Dengan metode ini, penanganan kanker bisa dilakukan lebih dini," tambah dr. Linda.

LDCT bahkan disebut mampu menurunkan angka kematian akibat kanker paru hingga 24 persen, karena kanker bisa ditemukan sebelum berkembang lebih lanjut.

Kenali Risiko Kanker Paru Sejak Dini

Tidak hanya perokok aktif yang berisiko, sekitar 25 persen pasien kanker paru ternyata tidak pernah merokok, dan sebagian besar dari kelompok ini adalah perempuan.

Faktor risiko kanker paru terbagi menjadi dua, yaitu:

  • Faktor risiko tak bisa dikontrol: usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga yang menderita kanker paru.
  • Faktor risiko bisa dihindari: paparan asap rokok (perokok pasif), polusi udara, rumah dengan asbes, radiasi, atau pekerjaan di dekat tambang dan pabrik semen.

Untuk mempermudah deteksi risiko, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah meluncurkan program skrining mandiri kanker paru NaRu (Kenali Paru).

Formulir ini dapat diakses masyarakat luas untuk mengetahui tingkat risiko: ringan, sedang, atau berat.

Data terkini mencatat, sebanyak 11.785 orang telah mengisi form skrining ini, dan sekitar 76 persen di antaranya memiliki risiko ringan yang langsung dirujuk ke dokter paru.

Sementara, mereka yang masuk kategori risiko sedang hingga berat dirujuk ke dokter onkologi.

Terapi Baru Tingkatkan Harapan Hidup Pasien

Kabar baiknya, kemajuan teknologi medis telah menghadirkan terapi-terapi baru yang meningkatkan angka kesintasan pasien kanker paru.

Menurut dr. Sita Laksmi Andarini, SpP(K), terapi kanker paru telah berkembang pesat sejak 2003. "Dulu hanya ada kemoterapi, dan usia harapan hidup pasien hanya 7 sampai 9 bulan," ujarnya.

Namun, sejak 2006 ada terapi target berdasarkan mutasi gen, dan harapan hidup meningkat jadi 36 s.d 49 bulan.

"Lalu sejak 10 tahun terakhir ditemukan imunoterapi yang bisa meningkatkan survival rate 5 tahun sampai 40 persen," tambah dr. Sita.

Salah satu terapi yang kini digunakan adalah osimertinib, yang ditujukan bagi pasien kanker paru bukan sel kecil (NSCLC) dengan mutasi gen EGFR.

Meski waktu terapi lebih lama, efek samping seperti diare dan kelelahan bisa ditoleransi lebih baik.

Foto Pilihan

Tim Gates Foundation yang diwakili Senior CMC Advisor Vaccine Development Rayasam Prasad mendapat penjelasan dari seorang staf saat meninjau Laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (15/5/2025). (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Read Entire Article
Helath | Pilkada |