Liputan6.com, Jakarta - Kanker paru-paru masih menjadi salah satu penyakit mematikan di dunia, termasuk di Indonesia.
Meski berada di peringkat kedua terbanyak dalam kasus kanker, kanker paru-paru menempati posisi pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker di dunia.
Kabar baiknya, kemajuan di bidang terapi kanker paru terus berkembang. Saat ini, pilihan terapi terbaru seperti targeted therapy dan imunoterapi mampu meningkatkan usia harapan hidup pasien kanker paru hingga lebih dari lima tahun.
"Sejak 10 tahun terakhir, imunoterapi sudah ditemukan dan membuat median rate survival dalam 5 tahun meningkat sampai 40 persen," ujar Dokter Spesialis Paru Subspesialis Onkologi Toraks dari MRCCC Siloam Hospitals, dr. Sita Laksmi Andarini, Ph.D, SpP(K).
dr. Sita mengatakan bahwa sebelum tahun 2003, pilihan pengobatan pasien kanker paru sangat terbatas.
Saat itu, pasien hanya mendapatkan kemoterapi setelah diketahui jenis sel kanker paru yang diidapnya. Rata-rata usia harapan hidup pasien kala itu hanya berkisar tujuh hingga sembilan bulan.
Terapi Target untuk Pasien Kanker Paru-Paru
Kemudian, pada tahun 2006 ditemukan terapi target (targeted therapy) setelah ilmuwan berhasil mengidentifikasi mutasi genetik pada sel-sel kanker paru.
Terapi ini memberikan harapan baru bagi pasien karena bisa meningkatkan angka kesintasan hingga 36 s.d 49 bulan.
Lebih spesifik lagi, kini telah tersedia pengobatan kanker Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) dengan obat generasi ketiga seperti osimertinib.
Obat ini bekerja lebih tepat sasaran dengan menargetkan mutasi gen EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) pada sel kanker.
"Terapi ini membutuhkan waktu lebih lama, yaitu sekitar 18 bulan dibanding pengobatan generasi sebelumnya. Tapi efek samping seperti diare dan kelelahan jauh lebih bisa ditoleransi pasien," kata dr. Sita.
Deteksi Dini Kanker Paru-Paru Kunci Keberhasilan Terapi
Meski terapi semakin canggih, dr. Sita mengingatkan bahwa deteksi dini tetap menjadi kunci utama keberhasilan pengobatan kanker paru.
Sebab, sebagian besar pasien di Indonesia datang berobat dalam kondisi sudah stadium lanjut atau stadium 4, di mana pengobatan menjadi lebih kompleks. Untuk itu, Low Dose CT Scan (LDCT) kini dianjurkan sebagai metode skrining awal bagi kelompok berisiko tinggi.
Pemeriksaan ini mampu mendeteksi adanya nodul atau benjolan abnormal berukuran kecil di paru-paru yang tidak terlihat melalui foto rontgen biasa. Menurut data, penggunaan LDCT dalam skrining kanker paru dapat menurunkan angka kematian hingga 24 persen.
Program skrining mandiri juga sudah bisa dilakukan melalui form Naru 'Kenali Paru’ dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)
Kanker Paru Tidak Menunjukkan Gejala
Kanker paru memang sering kali tidak menunjukkan gejala di awal. Namun, jika seseorang mengalami batuk berkepanjangan, penurunan berat badan, sesak napas, atau kelelahan terus-menerus, sebaiknya segera memeriksakan diri.
Dengan deteksi dini dan terapi yang tepat, kini pasien kanker paru memiliki harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding satu dekade lalu.
Jangan abaikan gejala ringan, karena pengobatan tepat waktu bisa menyelamatkan nyawa.