[Kolom Pakar] Prof Raymond R Tjandrawinta: Jejak Penelitian Eco-Bio-Social Dengue di Indonesia dan Asia

4 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Fenomena demam berdarah dengue (DBD) telah lama membayangi kota-kota padat di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Kenyataan ini menghadirkan ironi kemajuan urbanisasi yang diikuti dengan kerentanan baru terhadap penyakit.

Jalanan sempit di pinggiran kota besar, selokan yang macet, wadah air yang terbuka, dan mobilitas manusia yang tinggi telah menyatu menjadi lanskap ekologis yang memfasilitasi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak.

Setiap tahun, ribuan keluarga menyaksikan anggota mereka terbaring demam tinggi di rumah sakit, sementara sistem kesehatan lokal berjuang mengimbangi lonjakan kasus musiman. Di balik gejala klinis yang tampak sederhana, terdapat kompleksitas hubungan antara lingkungan, perilaku masyarakat, dan dinamika biologis vektor yang menuntut cara pandang baru. Tidak cukup sekadar menaburkan larvasida atau melakukan fogging, sebab masalah ini berakar lebih dalam dari sekadar nyamuk yang terbang di udara.

Pertanyaan mendasar segera muncul ketika epidemi terus berulang dari satu dekade ke dekade berikutnya. Mengapa upaya teknis yang telah lama diterapkan belum menghasilkan keberlanjutan dalam pengendalian? Apa yang menyebabkan rantai penularan seolah bersembunyi dalam celah kebijakan publik maupun perilaku sehari-hari masyarakat?

Dengue tidak hanya berbicara tentang hubungan virus dengan tubuh manusia, melainkan juga tentang tata ruang perkotaan, distribusi air bersih, persepsi risiko keluarga, hingga kapasitas pemerintah lokal dalam mengatur lingkungan. Maka muncullah gagasan bahwa epidemi dengue adalah hasil interaksi berlapis antara ekologi, biologi, dan sosial. Masalah ini bukan sekadar biologis, melainkan ekosistemik.

Dalam ranah teori, pendekatan eco-bio-social menawarkan cara untuk merangkul kompleksitas itu. Teori ini berkembang dari kesadaran bahwa determinan kesehatan tidak pernah bekerja dalam isolasi.

Ludwig von Bertalanffy dengan teori sistem umum menekankan bahwa fenomena biologis selalu bagian dari jaringan hubungan lebih luas. Anthony Giddens mengingatkan bahwa struktur sosial tidak statis, melainkan dihasilkan dan direproduksi oleh praktik manusia sehari-hari. Ketika prinsip ini diterapkan pada epidemi dengue, menjadi jelas bahwa jentik nyamuk tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan menyimpan air rumah tangga, bahwa pengetahuan warga tentang penyakit ikut menentukan keberhasilan intervensi, dan bahwa perubahan iklim lokal memperbesar atau memperkecil kapasitas penularan.

Peneliti kesehatan masyarakat seperti Vinod Diwan dan Axel Kroeger kemudian menyusun kerangka eco-bio-social dalam konteks tropis Asia, berangkat dari keyakinan bahwa hanya dengan memandang masalah secara interdisipliner kita dapat mendekati solusi berkelanjutan.

Bukti lapangan memperkuat argumen itu. Program penelitian eco-bio-social yang dilaksanakan antara 2006 hingga 2011 di beberapa negara Asia—India, Sri Lanka, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Indonesia—menawarkan ilustrasi konkret.

Di Yogyakarta, misalnya, dilakukan kombinasi survei rumah tangga, pemetaan lingkungan, dan kajian entomologi yang kemudian disandingkan dengan wawancara mendalam tentang pengetahuan dan sikap masyarakat.

Hasilnya menyingkap fakta bahwa praktik sederhana seperti menutup wadah air, atau kebiasaan membuang sampah di halaman, memiliki kontribusi signifikan pada dinamika jentik nyamuk. Intervensi yang berfokus pada pengelolaan ekosistem berbasis komunitas ternyata lebih efektif dalam mengurangi tempat perkembangbiakan dibanding sekadar penyemprotan insektisida.

Di sini terlihat bahwa keberhasilan tidak hanya lahir dari sains biologi, melainkan dari kemauan kolektif sebuah komunitas untuk mengubah perilaku dan lingkungan mereka.

Intervensi Inovatif Berpadu dengan Pengelolaan Ekosistem dan Warga

Ketika menelusuri lebih jauh, terdapat studi yang mencoba membangun intervensi inovatif berbasis masyarakat di Yogyakarta dengan memadukan pengelolaan ekosistem dan pemberdayaan warga. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa masyarakat bukan sekadar objek penerima intervensi, tetapi subjek aktif yang mampu merancang solusi sesuai konteks hidup mereka.

Di tingkat Asia lebih luas, penelitian di Sri Lanka menunjukkan perubahan kecil dalam manajemen air rumah tangga dapat mengurangi habitat vektor. Sementara itu di Filipina ditemukan bahwa partisipasi sekolah dalam kampanye kebersihan lingkungan meningkatkan kesadaran lintas generasi. Hal-hal ini menegaskan bahwa eco-bio-social bukan slogan, melainkan strategi nyata yang berakar pada pengalaman sehari-hari.

Analisis terhadap rangkaian studi tersebut mengungkapkan dimensi yang kerap terabaikan. Pertama, faktor ekologis seperti tata guna lahan dan sistem drainase perkotaan berinteraksi dengan kondisi sosial ekonomi keluarga. Permukiman padat dengan akses terbatas ke air bersih seringkali menjadi episentrum kasus dengue, bukan semata karena nyamuk lebih banyak, melainkan karena keluarga harus menyimpan air dalam wadah terbuka.

Kedua, faktor biologis terkait kapasitas dan kompetensi vektor berkelindan dengan variasi iklim lokal; perubahan suhu dan kelembaban mempengaruhi kemampuan nyamuk menyebarkan virus. Ketiga, faktor sosial berupa pengetahuan, sikap, dan praktik masyarakat menentukan sejauh mana pesan kesehatan dipatuhi atau diabaikan. Semua ini membentuk mosaik yang saling melengkapi, sehingga setiap kebijakan yang mengabaikan salah satu dimensinya akan rapuh.

Menengok Studi di Amerika Latin dan Karibia

Perbandingan dengan studi serupa di Amerika Latin dan Karibia menyoroti peluang perbaikan. Di sana, panel e-Delphi digunakan untuk mengidentifikasi dan memberi bobot faktor ekologis, biologis, dan sosial, menghasilkan kerangka konseptual yang lebih sistematik.

Sementara penelitian di Asia, meski kaya data lapangan, belum banyak menggunakan pendekatan konsensus pakar untuk memprioritaskan faktor-faktor kunci secara nasional. Kesenjangan ini membuka diskusi tentang pentingnya metode partisipatif lintas disiplin yang mampu menjembatani sains dan kebijakan. Di sinilah pelajaran dari filsuf ilmu seperti Karl Popper relevan: sains harus selalu terbuka pada revisi melalui kritik kolektif, bukan berdiri sebagai kebenaran final. Dengan kata lain, pengetahuan tentang dengue harus selalu diuji ulang dalam forum pakar yang melibatkan perspektif beragam.

Implikasinya meluas pada tataran kebijakan publik. Tanpa integrasi lintas sektor, strategi pengendalian akan terjebak dalam siklus reaktif.

Dinas kesehatan melakukan fogging ketika kasus melonjak, sementara dinas lingkungan sibuk mengelola sampah, dan dinas perumahan merencanakan tata kota tanpa mempertimbangkan epidemi. Ketiadaan kerangka bersama membuat upaya masing-masing sektor berjalan paralel tetapi tidak sinergis.

Di sisi masyarakat, rasa jenuh terhadap kampanye kesehatan yang monoton membuat kepatuhan berkurang. Padahal penelitian menunjukkan bahwa partisipasi aktif masyarakat, ketika difasilitasi dengan benar, mampu menghasilkan perubahan perilaku yang lebih tahan lama. Gambaran ini memperlihatkan kebutuhan mendesak akan platform kolaboratif di mana pemerintah, akademisi, dan komunitas dapat menyatukan langkah berdasarkan kerangka eco-bio-social yang komprehensif.

Melangkah ke Depan Mengatasi DBD

Jika ditanya bagaimana melangkah ke depan, jawabannya ada pada keberanian merancang proses partisipatif yang lebih terstruktur.

Indonesia dapat mengambil inspirasi dari model e-Delphi yang berhasil di Amerika Latin. Panel pakar yang melibatkan entomolog, epidemiolog, klimatolog, perencana kota, antropolog, hingga praktisi kebijakan dapat dimobilisasi untuk memberi bobot faktor eco-bio-social yang paling relevan.

Faktor yang mudah dikendalikan tetapi berdampak besar, seperti manajemen wadah air rumah tangga, bisa mendapat prioritas tinggi. Faktor yang sulit diubah, seperti variabilitas iklim, tetap masuk kerangka sebagai determinan penting tetapi ditempatkan dalam strategi mitigasi jangka panjang. Proses ini tidak hanya menghasilkan peta konsep, melainkan juga konsensus sosial-ilmiah yang dapat menjadi landasan kebijakan nasional.

Konklusi dari perjalanan panjang riset eco-bio-social di Asia adalah bahwa keberhasilan penanggulangan dengue tidak dapat diukur hanya dari jumlah nyamuk yang dibunuh atau kasus yang menurun sesaat.

Keberhasilan harus dilihat dari transformasi sosial dan ekologis yang memungkinkan masyarakat hidup lebih sehat dalam jangka panjang. Seperti diingatkan Amartya Sen dalam teorinya tentang capabilities, kesehatan bukan hanya ketiadaan penyakit, melainkan kebebasan untuk menjalani hidup yang bernilai. Dengan demikian, kerangka eco-bio-social memberi ruang bagi kita untuk melihat dengue bukan sekadar ancaman medis, tetapi sebagai tantangan pembangunan yang menuntut pemberdayaan komunitas, keadilan lingkungan, dan sinergi ilmu pengetahuan.

Dan akhirnya, refleksi ini membawa kita pada kesadaran bahwa penelitian hanyalah langkah awal. Data dan teori akan kehilangan makna bila tidak menjelma dalam kebijakan yang berpihak pada kebutuhan nyata masyarakat. Kota-kota di Asia sedang tumbuh dengan kecepatan luar biasa, dan bersama pertumbuhan itu muncul risiko baru yang menuntut cara pandang lebih luas.

Demam Berdarah Dengue adalah pengingat bahwa kesehatan manusia melekat pada kondisi sosial dan ekologis yang kita ciptakan. Menyusun kerangka eco-bio-social bukan sekadar latihan akademis, melainkan sebuah keharusan moral ilmiah untuk memastikan bahwa generasi mendatang tidak lagi hidup dalam bayang-bayang epidemi berulang. Dengan tekad itu, penelitian lintas negara pada telah menorehkan dasar yang berharga, dan kini tugas kita adalah memperluasnya, memperdalamnya, dan menjadikannya panduan nyata dalam pembangunan kesehatan masyarakat di Asia.

** Penulis adalah Dosen dan Peneliti Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Resipien Habibie Award dan WIPO Award, Kandidat Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan

Read Entire Article
Helath | Pilkada |