Liputan6.com, Jakarta - Masih banyak masyarakat Indonesia yang keliru memahami vitiligo. Sebuah kondisi kulit jangka panjang yang menyebabkan hilangnya warna atau pigmen pada area tertentu di tubuh.
Bercak-bercak putih yang muncul sering kali menimbulkan stigma, membuat penderitanya dianggap berbeda, bahkan dikira menular. Padahal, faktanya tidak demikian.
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin dari Tivaza Clinic, Dr. Panji Respati, Sp.DVE, menegaskan bahwa vitiligo bukan penyakit menular dan tidak membahayakan nyawa.
"Kondisi ini terjadi karena sel penghasil melanin di kulit, yang disebut melanosit, berhenti berfungsi atau mati. Akibatnya, muncul area-area kulit yang kehilangan warna," katanya dalam diskusi memperingati Hari Vitiligo Sedunia belum lama ini.
Vitiligo bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang usia maupun latar belakang. Namun, karena perubahan warna kulit yang mencolok, terutama pada individu berkulit gelap, dampaknya kerap dirasakan secara psikologis.
Banyak penderita merasa minder, menghindari pergaulan, bahkan mengalami stres berat. "Stres justru dapat memperparah penyebaran vitiligo. Karena itu, pendekatan pengobatan tidak cukup hanya dari sisi medis, tapi juga perlu mencakup aspek emosional dan sosial," kata dr. Panji.
Membangun Ruang Aman bagi Pasien Vitiligo Melalui Komunitas
Meski edukasi mengenai vitiligo terus meningkat, stigma masih saja melekat. Banyak yang menganggap kondisi ini sebagai kutukan atau akibat gaya hidup buruk. Tak sedikit vitiligan, sebutan untuk penyandang vitiligo, tumbuh dengan perasaan takut, malu, dan terisolasi.
Pilihan pengobatan pun beragam dan bersifat personal. Ada yang memilih terapi topikal, terapi cahaya, atau bahkan tidak menjalani pengobatan sama sekali. Semua pilihan itu sah, selama didasari penerimaan diri dan informasi yang tepat.
Dari kebutuhan akan dukungan sosial yang kuat, terbentuklah komunitas Selflove Movement. "Komunitas ini hadir untuk mendobrak stigma dan menghadirkan ruang aman, tempat para vitiligan bisa menjadi diri sendiri dan saling menguatkan," ujar Presiden Direktur PT Regenesis Indonesia, Ir. Emmy Noviawati, saat merayakan Hari Vitiligo Sedunia pada 21 Juni 2025 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Dengan tema “Selflove is My Super Power”, acara ini menjadi ajang merayakan keberagaman dan menegaskan bahwa setiap individu layak dicintai, apa adanya.
Salah satu sesi paling menyentuh adalah “Membangun Menara Bahagia”. Di sesi ini, peserta menuliskan hal-hal yang mereka syukuri. Aktivitas ini bukan sekadar permainan, melainkan refleksi untuk mengingat bahwa kebahagiaan sejati datang dari penerimaan diri.
Corporate Brand Manager, Apt. Gita Yohanna Thomdean, S.Farm, menambahkan,"Kami ingin menanamkan bahwa self-love bukan sekadar tren, tapi kekuatan sejati untuk hidup bahagia dan berdaya."
Anak-anak dan Keluarga Turut Terlibat
Acara ini melibatkan anak-anak penyandang vitiligo yang hadir bersama keluarga. Kehadiran keluarga sangat penting untuk membangun rasa percaya diri sejak dini. Nafisah, peserta berumur 9 tahun, mengaku baru kali ini merasa memiliki 'teman senasib, sehingga dia tidak lagi merasa sendirian.
Dukungan seperti ini menjadi fondasi penting dalam perjalanan mencintai diri sendiri, yang tidak selalu mudah bagi para vitiligan.
Dalam acara yang sama, dua peserta --- Putri Mitra dari Purwakarta dan Raehan dari Jakarta --- berbagi kisah perjuangan mereka menerima vitiligo sebagai bagian dari diri yang layak dibanggakan.
"Saya sempat tidak percaya diri tampil di depan umum, tapi dengan support system yang tepat, saya bisa bangkit," ujar Raehan.
Komunitas Selflove Movement juga aktif secara digital dengan lebih dari 3.000 anggota di Instagram dan Facebook.