Liputan6.com, Jakarta - Anak memiliki hak belajar serta perlindungan khusus di satuan pendidikan. Ini tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
Selain itu, UUD 1945 terkait pendidikan anak pada Pasal 31, menyatakan bahwa setiap warga negara, termasuk anak-anak, berhak mendapatkan pendidikan.
“Negara wajib menyediakan pendidikan dasar bagi setiap warga negara dan membiayainya. Pasal 31 juga menekankan pentingnya sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, akhlak mulia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Agama, Dr. Aris Adi Leksono, M.Pd, dalam keterangan pers dikutip Senin (5/5/2025).
Sebagai turunan UUD ’45 telah diterbitkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 menyebutkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
Kedua regulasi tersebut, setidaknya menjawab kewajiban negara untuk menjamin akses dan mutu pendidikan bagi seluruh anak Indonesia, termasuk di dalamnya pendidikan dengan layanan khusus, pendidikan khusus, serta kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
“Selain itu, kewajiban perlindungan bagi anak Indonesia pada satuan pendidikan, juga telah diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” papar Aris.
Pasal ini menyatakan bahwa anak di satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya. Artinya satuan pendidikan tidak sekadar menjalankan mandat pengajaran dan pembelajaran, tapi juga mandat perlindungan.
“Namun sampai saat ini masih banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas terkait pemenuhan hak pendidikan dan perlindungan anak pada satuan pendidikan.”
Puluhan siswa di Sukabumi terpaksa melintasi derasnya sungai Cikarang untuk pergi ke sekolah karena jembatannya roboh akibat banjir bandang.
Angka Anak Tidak Sekolah
Data Susenas BPS yang diolah dari beberapa tahun terakhir menunjukkan masih ada 4,2 Juta Anak Tidak Sekolah (ATS) usia 6 – 18 tahun.
Ini terdiri dari 0,5 juta anak tidak pernah sekolah sama sekali, 0,5 juta anak putus sekolah, 3,2 anak sudah tidak bersekolah sebelum-sebelumnya.
Faktor penyebab ATS adalah ekonomi, sosial budaya, akses dan layanan pendidikan yang terbatas, korban kekerasan, anak berhadapan hukum, perkawinan anak, anak disabilitas, kecanduan gawai, anak korban narkoba, anak korban kebijakan dikeluarkan dari sekolah, serta faktor lainya.
Hasil pengawasan KPAI menunjukan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah belum memiliki strategi yang solutif untuk menangani anak tidak sekolah, terutama pada faktor kendala non ekonomi.
“Misalnya anak korban kekerasan, kecanduan game, dan sosial budaya keluarga, tidak bisa diselesaikan dengan pemberian kartu Indonesia pintar (KIP), beasiswa atau bantuan lainya, dia harus dipulihkan psikisnya untuk berani kembali ke sekolah,” ujar Aris.
Begitu pula anak yang sedang menjalani pembinaan di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), perlu menghadirkan satuan pendidikan filial, atau pendidikan non formal di dalam LPKA. Termasuk pendidikan anak korban narkoba yang sedang mengikuti penyembuhan di Loka Rehabilitasi BNN, serta situasi lainya.
Pemda Dinilai Belum Optimal Tangani Anak Putus Sekolah
Pemerintah Daerah dinilai belum menindaklanjuti secara optimal dan berkelanjutan menangani anak putus sekolah yang tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan Education Management Information System (EMIS), apalagi data yang tidak tercatat, yang jumlahnya lebih banyak.
“Sebenarnya berangkat dari data ini, profil anak dan faktor utama penyebab putus sekolah bisa dipetakan, lalu ditentukan intervensi yang sesuai kebutuhan anak, dijangkau dengan melibatkan dinas terkait anak, serta langkah spesifik, solutif, dan berkelanjutan.”
Sebagaimana data pengaduan di KPAI 3 tahun terakhir, lanjut Aris, masih terdapat kebijakan satuan pendidikan yang mengeluarkan anak didik, karena situasi tertentu.,Seperti anak pelaku kekerasan, anak berperilaku menyimpang, anak korban kekerasan seksual, anak berhadapan dengan hukum, anak tidak membayar SPP, dan atau biaya uang pangkal dan asrama, serta situasi lainnya.
Pendataan Siswa Berkebutuhan Khusus Belum Optimal
Terdapat anak berkebutuhan khusus yang sedang menjalankan pembinaan dan pendampingan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) di bawah binaan Kementerian Sosial tidak terdata dalam Dapodik secara nasional. Sehingga, dia akan tercatat sebagai anak yang tidak pernah atau putus sekolah.
Anak tersebut berpeluang tidak mendapatkan bantuan pembiayaan pendidikan dari pemerintah, seperti BOS, dan lainnya.
“Anak Disabilitas masih ditemukan ada yang belum pernah sekolah, serta sudah sekolah tapi rawan putus sekolah, karena keterbatasan informasi layanan pendidikan, keterbatasan layanan pembelajaran, keterbatasan SDM Guru yang memiliki kompetensi khusus, serta keterbatasan sarana prasarana yang dibutuhkan sesuai jenis kedisabilitasannya,” pungkas Aris.