Liputan6.com, Surabaya - Pola makan bukan hanya soal pilihan pribadi. Faktor sosial dan budaya memegang peranan besar dalam membentuk kebiasaan makan seseorang. Hal tersebut menjadi sorotan utama dalam kuliah tamu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM UNAIR) yang digelar secara daring pada Rabu (30/4/2025) bersama Prof Dr Norhasmah Sulaiman dari Universiti Putra Malaysia (UPM).
Dalam paparannya, Prof Norhasmah menegaskan bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh kuat terhadap kebiasaan makan seseorang, terutama melalui peran keluarga dan orang terdekat.
“Kita mengamati dan meniru bagaimana orang tua kita menyiapkan makanan yang kita konsumsi. Jadi, pola makan orang tua menjadi model yang kita tiru,” ujarnya.
Lebih jauh, budaya juga disebut sebagai elemen penting yang membentuk preferensi dan pilihan makanan seseorang. Dalam masyarakat yang memiliki kekayaan budaya kuliner, makanan tak sekadar pemenuhan gizi, tapi juga simbol identitas dan tradisi yang diwariskan turun-temurun.
“Contohnya saat hari raya, Indonesia dan Malaysia memiliki kemiripan untuk mengonsumsi ketupat, rendang, sate yang merupakan budaya kita. Berbeda dengan negara lain yang tidak mengonsumsi hal itu karena bukan menjadi budaya mereka,” jelasnya.
Tantangan Budaya dan Tekanan Sosial
Prof Norhasmah mengungkapkan bahwa budaya tidak selalu mendukung pola makan sehat. Beberapa jenis makanan khas daerah, meskipun sarat nilai budaya, menggunakan bahan-bahan yang tinggi lemak atau kolesterol seperti santan. Perubahan pada bahan baku dianggap sebagai ancaman terhadap keaslian rasa.
“Kalau ingin mengganti santan dengan pilihan lain yang rendah lemak maka rasanya akan berbeda dan tidak original,” terangnya.
Tekanan Sosial
Selain itu, tekanan sosial juga menjadi tantangan tersendiri, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Lingkungan sosial kerap mendorong seseorang untuk tetap mengonsumsi makanan yang tidak sehat demi mempertahankan rasa kebersamaan.
“Jika kamu tidak mau makan ini berarti kamu bukan bagian dari kami,” ujarnya, mencontohkan bentuk tekanan sosial yang sering terjadi.
Pendekatan Strategis Multilevel
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Prof Norhasmah menyarankan pendekatan bertingkat, mulai dari level individu, organisasi, hingga regulasi pemerintah.
Pertama, di tingkat individu, edukasi mengenai cara memasak sehat dan pemilihan bahan makanan yang lebih baik perlu diperkuat. Ini menjadi dasar membangun kesadaran sejak dari rumah.
Kedua, pada level organisasi seperti sekolah, kebijakan penyediaan makanan sehat dapat menjadi langkah konkret. Ia mencontohkan program Rancangan Makanan Tambahan di Malaysia yang menyuplai makanan sehat bagi siswa dari keluarga kurang mampu.
“Kita punya program Rancangan Makanan Tambahan yang memberikan makanan sehat untuk siswa dari keluarga miskin,” tambahnya.
Ketiga, pada tingkat regulasi, peran pemerintah sangat penting dalam mengarahkan industri makanan agar lebih bertanggung jawab. Kebijakan pelabelan gizi dan pembatasan penggunaan bahan tidak sehat dinilai efektif untuk membentuk lingkungan konsumsi yang lebih sehat.
“Industri harus mengikuti peraturan yang berlaku jika ingin menjual produknya ke masyarakat,” tegas Prof Norhasmah.