Pendidikan Semi Militer untuk Pelajar Bermasalah, Psikolog Ingatkan Risiko Kondisi Mental Remaja

14 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Mulai hari ini, 2 Mei 2025, program pendidikan semi militer bagi pelajar yang terlibat kenakalan remaja resmi dimulai. Kebijakan tersebut merupakan arahan langsung dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.

Dedi mengatakan, pendidikan semi militer tersebut adalah pendidikan karakter yang akan mulai dijalankan di beberapa wilayah di Jawa Barat yang dianggap rawan, dengan bekerja sama dengan TNI dan Polri.

Disebutkan, para peserta program dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orangtua siswa. Program pendidikan di barak militer diprioritaskan pada siswa yang dinilai sulit dibina atau terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas maupun tindak kriminal.

Pendidikan atau pembinaan dilakukan intensif selama enam hingga 12 bulan. Diharapkan pendidikan semi militer ini akan mampu mengubah perilaku siswa menjadi lebih positif dan menghargai nilai-nilai kedisiplinan.

"Selama enam bulan, siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya," tutur Dedi, mengutip ANTARA.

Meski bertujuan baik, jika ditilik dari kacamata psikologis, pendekatan untuk mengatasi pelajar bermasalah tersebut dinilai kurang bijak. Menurut psikolog anak dan remaja Madasaina Putri, M.Psi dari PION, pendekatan yang otoriter tidak direkomendasikan dalam proses mendampingi tumbuh kembang anak maupun remaja.

"Dalam mendampingi tumbuh kembang anak maupun remaja, pendekatan yang otoriter tidak direkomendasikan, apalagi bila dijadikan sebagai bentuk 'hukuman'," ujar Madasaina kepada Health-Liputan6.com, Jumat (2/5).

Berpotensi Memperparah Masalah yang Dialami Remaja

Menurutnya, pendekatan disiplin keras satu arah tanpa dialog bisa memperparah masalah yang dialami remaja.

"Untuk menyelesaikan masalah perilaku pada remaja, one size doesn't fit all. Intervensi yang dilakukan idealnya bersifat individual dan kontekstual, berdasarkan profil psikologis dari tipa anak yang unik, sekalipun masalah perilakunya sama," jelasnya.

Latar belakang masing-masing remaja juga menurutnya perlu mendapat perhatian. Pendekatan berbasis ketertiban dan disiplin keras seperti barak militer akan berdampak berbeda-beda pada tiap remaja. Remaja dengan kecenderungan cemas bisa merasa terancam hingga mengalami gangguan kecemasan klinis. Sementara remaja dengan kecenderungan membangkang justru bisa melawan lebih keras.

“Alih-alih berubah ke arah yang positif, mereka mungkin semakin sulit diarahkan karena merasa tidak dipahami dan diperlakukan tidak adil,” lanjutnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, kata Madasaina, pendekatan ini bisa membentuk identitas negatif dalam diri remaja. Label “anak nakal” yang ditempelkan melalui "hukuman militer" bisa mereka internalisasi sebagai bagian dari diri mereka.

“Ini bisa memicu penyimpangan lanjutan karena mereka percaya bahwa memang itu identitasnya,” jelasnya.

Tidak Menyentuh Akar Masalah

Kerap kali, remaja yang bermasalah atau berperilaku menyimpang memiliki latar belakang keluarga yang tidak suportif atau bahkan mengalami trauma. Dalam konteks ini, pelatihan semi militer dinilai hanya menyentuh permukaan masalah tanpa menyentuh akar sesungguhnya.

“Kalau akar masalahnya ada pada disfungsi keluarga atau trauma, maka itulah yang harus dibereskan. Pelatihan militer mungkin bisa membuat mereka tampak lebih disiplin sementara, tapi itu hanya di permukaan,” tegas Madasaina.

Disarankan Pendekatan Psikologis yang Berbasis Relasi dan Konteks

Madasaina menjelaskan bahwa penanganan remaja bermasalah idealnya menggunakan pendekatan yang holistik dan kontekstual. Salah satunya adalah teori ekologi sistemik Bronfenbrenner, yang melihat perilaku anak sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya — mulai dari keluarga, sekolah, hingga sistem sosial yang lebih luas.

“Bisa juga menggunakan pendekatan relasional atau attachment. Kita cari tahu kebutuhan apa yang belum terpenuhi dari anak tersebut, lalu bangun koneksi dengan anak. Koreksi perilaku harus dibarengi dengan membangun kepercayaan,” paparnya.

Pendekatan lain yang juga umum digunakan adalah pendekatan behavioristik dan kognitif-behavioral (CBT) yang fokus pada modifikasi perilaku serta pengelolaan pikiran dan emosi yang mendasarinya.

Read Entire Article
Helath | Pilkada |