Liputan6.com, Jakarta - Ada setidaknya enam ciri yang menunjukkan bahwa seseorang berisiko terjangkit penyakit infeksi menular seksual (IMS).
Menurut dokter subspesialis dermatologi venereologi dan estetika - venereologi, Hanny Nilasari, keenam ciri itu termasuk:
- Mempunyai pasangan seksual baru atau berganti-ganti pasangan.
- Pasangan seksual mempunyai pasangan lain/ banyak pasangan.
- Pasangan seksual memiliki infeksi menular seksual.
- Memiliki riwayat penggunaan obat terlarang atau prostitusi.
- Melakukan kontak seksual sesama jenis dan berganti-ganti pasangan.
- Bayi dari ibu yang sakit HIV atau IMS yang lain.
“Jadi ini adalah orang-orang yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan suatu infeksi menular seksual,” kata Hanny dalam temu media secara daring bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Jumat (20/6/2025).
IMS adalah infeksi yang terjadi pada seseorang melalui kontak seksual atau intercourse dapat melalui kelamin, mulut, atau anus.
IMS dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau parasit. Kadang-kadang, infeksi ini dapat melalui rute non seksual misalnya dari ibu kepada anaknya.
Maka dari itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Ina Agustina Isturini, mengatakan bahwa HIV dan IMS lainnya seperti sifilis dan gonore bukan masalah moral melainkan masalah kesehatan.
“Sampaikan pesan anti stigma, tekankan, ini penting nih untuk disebarluaskan, HIV, IMS itu bukan masalah moral tapi masalah kesehatan,” kata Ina dalam kesempatan yang sama.
“Ya seperti kita lihat, itu (HIV, IMS) bisa mengenai semua usia kok, dari usia nol sampai lansia. Jadi bisa mengenai seluruh lapisan masyarakat, populasi umum juga bisa. Itu adalah masalah kesehatan, siapapun orangnya (yang kena HIV, IMS) jangan kita hakimi,” imbaunya.
Penderita HIV/AIDS masih terus berjuang melawan stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap penyakit yang dideritanya. Sebagian orang masih mengangkat HIV/AIDS adalah penyakit yang menakutkan.
Kasus IMS pada Remaja 15-19 Tahun
Seperti disampaikan Ina, siapapun bisa terkena IMS termasuk para remaja. Nyatanya, kasus IMS pada remaja usia 15-19 mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir.
Ina mengatakan, tingginya temuan kasus IMS pada remaja seiring dengan jumlah tes yang meningkat.
“Jadi, tahun 2022 tes dilakukan pada 85.574 orang, tahun 2023 (tes) meningkat hampir dua kali lipat, 158.378. Dan pada 2024 meningkat lagi 291.672. Kita lihat dari tren tesnya saja itu sudah meningkat,” papar Ina.
“Jadi sebenarnya bisa jadi ini memang fenomena gunung es yang mulai mencair, mulai ada kesadaran, orang sadar pentingnya melakukan tes IMS. Tes meningkat sehingga temuan kasus pun meningkat,” tambahnya.
Dari beberapa jenis IMS, Ina mengungkap bahwa kasus terbanyak yang tercatat adalah sifilis.
“Jumlah kasus IMS itu 4.589, di mana sekitar 48 persen di antaranya atau 2.191 itu adalah sifilis,” terangnya.
Sementara, kasus IMS pada remaja paling banyak ditemukan di kota-kota besar terutama di tiga provinsi.
“Secara umum memang kasus IMS banyak ditemukan di kota-kota besar ya untuk usia tersebut. Kota besar di tiga provinsi besar seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali itu cukup banyak,” paparnya.
Cakupan Pengobatan IMS Capai 90 Persen
Ina menambahkan, cakupan pengobatan infeksi menular seksual selain HIV cenderung lebih bagus jika dibandingkan dengan HIV-nya sendiri.
“Cakupan pengobatan infeksi seksual menular ini sebenarnya lebih bagus ya dibandingkan HIV. Secara nasional sendiri sudah dua tahun berturut-turut cakupannya itu lebih dari 90 persen, jadi sudah cukup baik,” jelas Ina kepada Health Liputan6.com.
Ina setuju bahwa penanganan IMS pada remaja perlu melibatkan peran orangtua. Di samping itu, guna meningkatkan kepatuhan saat berobat maka peran sebaya menjadi penting untuk memberi dukungan dan dorongan sekaligus menghilangkan stigma serta diskriminasi.
Pelibatan Orangtua dalam Pengobatan Remaja dengan IMS
Senada dengan Ina, Hanny menjelaskan terkait penanganan kasus IMS pada remaja.
“Pada usia 15-19 tahun ini memang cukup sering datang ke kami sebagai fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Kebetulan saya bertugas di faskes tingkat lanjut dan kalau pasien ini datang tentu dibawa berobat oleh orangtua,” ujar Hanny.
Maka dari itu, pendekatan penanganan HIV pada remaja tidak hanya pada remajanya sendiri tapi juga perlu komunikasi dengan orangtuanya.
“Kita harus berkomunikasi juga dengan orangtuanya sehingga tata laksana atau pengobatan bisa dilakukan secara sempurna dan secara komprehensif.”
Hanny menambahkan, anak usia 15 hingga 19 tahun masih tinggal bersama orangtua. Sehingga, tenaga kesehatan perlu hati-hati sekali dalam melakukan edukasi kepada orangtua dan memberikan keterangan dengan baik dan sempurna sehingga tidak terjadi miskomunikasi.
“Tentunya kalau koordinasi dengan orangtua bisa dilakukan dengan baik dan kemudian anaknya juga bisa diterima oleh orangtuanya dengan segala kekurangannya, maka tatalaksana bisa berjalan lancar,” jelasnya.