Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengonfirmasi adanya delapan kasus virus Hanta tipe Haemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) di Indonesia.
Meski begitu, seluruh pasien telah dinyatakan sembuh, dan situasi saat ini belum memenuhi kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB).
Termasuk kasus virus Hanta di Bandung Barat. "Kasus di Bandung Barat belum memenuhi kriteria KLB," kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, dikutip dari Antara pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Aji menjelaskan bahwa suatu wilayah dikategorikan mengalami KLB jika ditemukan dua atau lebih kasus konfirmasi HFRS dalam satu masa inkubasi, yakni dua pekan.
Dalam hal ini, kata Aji, kasus virus Hanta yang muncul tersebar di empat provinsi berbeda sehingga tidak termasuk KLB.
Empat provinsi yang melaporkan kasus HFRS adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.
Salah satu kasus sempat muncul di Kabupaten Bandung Barat pada 20 Mei 2025, dan ditangani di RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
"Pasien sudah sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa," kata Aji.
Tanggapan Kemenkes soal Kasus Virus Hanta di Bandung Barat
Terkait kasus tersebut, Kemenkes bersama sejumlah pihak langsung bergerak cepat. Penyelidikan epidemiologi dan pengendalian vektor dilakukan oleh Kemenkes, Labkesmas Jakarta, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat, Puskesmas Ngamprah, serta perangkat desa setempat.
Apa Itu Virus Hanta?
Aji menjelaskan bahwa virus Hanta adalah penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia, khususnya dari rodensia atau hewan pengerat seperti tikus.
Virus ini disebabkan oleh Orthohantavirus dan hingga saat ini belum ditemukan penularan dari manusia ke manusia. "Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan urin, tinja, air liur, atau sarang rodensia," katanya.
Di Indonesia, virus Hanta sejauh ini hanya terdeteksi dalam bentuk HFRS. Gejala HFRS meliputi demam, sakit kepala, nyeri otot, tubuh terasa lemas (malaise), dan jaundice atau kulit serta mata menguning.
Sementara itu, tipe lain yaitu Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS) yang lebih umum ditemukan di Amerika, memiliki gejala berupa demam, nyeri badan, lemas, disertai batuk dan sesak napas.
"Case Fatality Rate (CFR) virus ini berada di angka 5 sampai 15 persen, tergantung strain virusnya," tambah Aji.
Belum Ada Obat Spesifik untuk Virus Hanta
Hingga kini, belum ditemukan pengobatan spesifik untuk virus Hanta. Pengobatan yang diberikan bersifat simptomatik dan suportif, tergantung pada gejala yang dialami pasien.
Sebagai langkah antisipatif, Kemenkes telah menyiapkan sejumlah pedoman serta materi edukasi yang disebarkan ke seluruh kabupaten dan kota.
"Kami melakukan sosialisasi kewaspadaan penyakit ke seluruh daerah dan melaksanakan surveilans sentinel di 19 rumah sakit untuk mendeteksi virus Hanta," jelas Aji.
Aji mengimbau masyarakat untuk melakukan pengendalian populasi rodensia di lingkungan sekitar sebagai upaya pencegahan penularan virus Hanta.
Beberapa langkah penting yang disarankan antara lain:
- Menghindari kontak langsung dengan rodensia atau produk ekskresinya (urine, feses, air liur)
- Menjaga kebersihan rumah, terutama ruang yang jarang digunakan seperti loteng dan gudang
- Mengelola sampah secara baik dan benar
- Menempatkan perangkap tikus di rumah atau tempat kerjaMenggunakan alat pelindung diri (APD) bagi pekerja berisiko seperti petani, buruh bangunan, dan tenaga laboratoriu.
"PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) harus terus dilakukan untuk mencegah penyakit menular, termasuk virus Hanta," ujar Aji.
Kemenkes akan terus memantau dan meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi penyebaran virus ini.
Masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan waspada serta melaporkan ke fasilitas kesehatan terdekat jika mengalami gejala mencurigakan.